Jumat, 27 Desember 2013

akhlak bernegara

Akhalak bernegara


  1. Pengertian Akhlaq
Secara etimologi akhlak adalah bentuk jamak dari khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku dan tabi’at. Berakar dari kata khalaqa yang berarti menciptakan. Seakar dengan kata khaliq (pencipta), makhluq (yang diciptakan) dan khalq (penciptaan).1
Sedangkan akhlak menurut istilah sebagaimana di ungkapkan oleh Imam Al-Ghazali adalah sebagai berikut : akhlak adalah suatu bentuk sifat (naluri asli) yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan–perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Apabila naluri tersebut melahirkan suatu tindakan dan kelakuan yang baik dan terpuji menurut akal dan agama, maka disebut budi pekerti yang baik. Namun sebaliknya bila melahirkan tindakan dan kelakuan yang jahat maka disebut budi pekerti yang buruk.2
Sedangkan akhlak menurut Ibrahim Anis adalah sifat yang tertanam di dalam jiwa yang dengannya malahirkan macam-macam perbuatan baik / buruk tampa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. Menurut Abdul Karim Zaidan akhlak adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa yang dengan sorotan dan timbangannya seseorang dapat menilai perbuatan baik / burk untuk kemudian memilih melakukan / meninggalkannya.3 Menurut Ja’ad maulana “akhlak adalah ilmu yang menyelidiki gerak  jiwa manusia, apa yang dibiasakan mereka dari perbuatan dan perkatan dan menyingkap hakikat-hakikat baik dan buruk”.4 Dan menurut Ahmad amin adalah kehendak yang biasa dilakukan. Artinya segala sesuatu yang kehendak yang terbiasa dilakukan, disebut akhlak.5
Dari beberapa pengertian tersebut bisa kita ambil kesimpulan bahwa akhlak / khuluq itu adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia sehingga dia akan muncul secara spontan bilamana diperlukan, tanpa memerlukan pemikiran / pertimbangan terlebih dahulu serta tidak memerlukan dorongan dari luar.

  1. Istilah lain dari akhlak
Dalam pembahasan akhlak atau ilmu akhlak ada beberapa istilah yang sering digunakan untuk mengatakan akhlak atau ilmu akhlak tersebut. Istilah-istilah itu adalah:
  1. Etika
Perkataan etika berasal dari bahasa yunani ethos yang berarti adat kebiasaan. Di dalam kamus istilah pendidikan dan umum dikatakan bahwa etika adalah bagian dari filsafat yang mengajarkan keluhuran budi (baik dan buruk). Menurut Dr. H. Hamzah ya’qub “etika adalah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran”.6 Etika menurut Ki Hajar Dewantara “etika adalah ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan keburukan di dalam hidup manusia semuanya”.7
  1. Moral
Perkataan moral berasl dari bahasa Latin mores yaitu jamak dari mos  yang berarti adat kebiasaan. Di dalam kamus umum bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral adalah baik buruk perbuatan dan perkataan. Moral merupakan istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktivitas manusia dengan nilai atau hukum baik dan buruk. Perbedaan antara moral dan etika yaitu, etika lebih banyak bersifat teoritis sedangkan moral lebih banyak bersifat praktis. Etika memandang tingkah laku manusia saecara umum, sedangkan moral secara lokal.8 Etika setandarnya pertimbangan akal pikiran; moral standasrnya adat kebiasaan yang umum berlaku dimasyarakat.9

  1. Ruang lingkup akhlak
Yunahar Ilyas membagi pembahasan akhlak dengan enam bagian, yaitu:
  1. Akhlak terhadap Allah swt.
  2. Akhlak terhadap Rasulullah saw.
  3. Akhlak pribadi
  4. Akhlak dalam keluarga
  5. Akhlak bermasyarakat
  6. Akhlak bernegara.10

Adapun ruang lingkup bidang studi akhlak adalah:
  1. Akhlak terhadap diri sendiri meliputi kewajiban terhadap dirinya disertai dengan larangan merusak, membinasakan dan menganiyaya diri baik secara jasmani (memotong dan merusak badan), maupun secara rohani (membirkan larut dalam kesedihan).
  2. Akhlak dalam keluarga meliputi segala sikap dan perilaku dalam keluarga, contohnya berbakti pada orang tua, menghormati orang tua dan tidak berkata-kata yang menyakitkan mereka.
  3. Akhlak dalam masyarakat meliputi sikap kita dalam menjalani kehidupan soaial, menolong sesama, menciptakan masyarakat yang adil yang berlandaskan Al-Qur’an dan hadis.
  4. Akhlak dalam bernegara meliputi kepatuhan terhadap Ulil Amri selama tidak bermaksiat kepada agama, ikut serta dalam membangun Negara dalam bentuk lisan maupun fikiran.
  5. Akhlak terhadap agama meliputi berimn kepada Allah, tidak menyekutukan-Nya, beribadah kepada Allah. Taat kepada Rasul serta meniru segala tingkah lakunya.11

Prinsip akhlak dalam Islam yang paling menonjol adalah bahwa manusia dalam melakukan tindakan-tindakannya, ia mempunyai kehendak-kehendak dan tidak melakukan sesuatu. Ia harus bertanggung jawab atas semua yang dilakukannya dan harus menjaga perintah dan larangan akhlak. Tanggung jawab itu merupakan tanggung jawab pribadi muslim, begitupun dalam kehidupan sehari-hari harus selalu menampakkan sikap perbuatan berakhlak. Akan tetapi akhlak bukalah semata-mata hanya perbuatan akan tetapi lebih kepada gambaran jiwa yang tersembunyi.

Dari pembagian ruang lingkup diatas penulis ingin menerangkan secara khusus tentang akhalak bernegara.

  1. Akhlak Bernegara
  1. Musyawarah
Secara etimologis, musyawarah berasal dari kata syawara yang pada awalnya bermakna mengeluarkan madu dari tempatnya. Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain termasuk pendapat.
Kata musyawarah adalah bentuk jamak masdar dari kata syawara yang dari segi jenisnya termasuk kata kerja mu’faalah (perbuatan yang dilakukan timbal balik),12 musyawarah itu bersifat dialogis bukan monologis, jadi semua anggota musyawarah bebas mengeluarkan pendapatnya. Dengan kebebasan berdialog itulah diharapkan dapat diketahui kelemahan pendapat yang dikemukakan, sehingga keputusan yang dihasilkan tidak lagi mengandung kelemahan.

  1. Arti penting musyawarah
Musyawarah atau syuara adalah sesuatau yang sangat penting guna menciptakan persaturan di dalam masyarakat mana pun.
Adapun salah satu ayat dalam Al–Qur’an yang membahas mengenai Musyawarah adalah surah Al-Syura ayat 38
           
Dan (bagi) orang-orang yang menjahui dosa-dosa besar dan perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (memetuhi) seruan tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menakahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Asy-Syura :38)

Dalam ayat diatas, syura atau musyawarah sebagai sifat ketiga bagi masyarakat Islam dituturkan setelah iman dan shalat . Menurut Taufiq asy-Syawi, hal ini memberi pengertian bahwa musyawarah mempunyai martabat setelah ibadah terpenting , yakni shalat, sekaligus memberi pengertian bahwa musyawarah merupakan salah satu ibadah yang tingkatannya sama dengan shalat dan zakat. Maka masyarakat yang mengabaikannya dianggap sebagai masyarakat yang tidak menetapi salah satu ibadah.13
Memang, musyawarah sangat diperlukan untuk dapat mengambil keputusan yang paling baik disamping untuk memperkokoh rasa persatuan dan rasa tanggung jawab bersama. Ali Bin Abi Thalib menyebutkan bahwa dalam musyawarah terdapat tujuh hal penting yaitu , mengambil kesimpulan yang benar, mencari pendapat, menjaga kekeliruan, menghindari celaan, menciptakan stabilitas emosi, keterpaduan hati, mengikuti atsar.14

  1. Hal–Hal yang Boleh di Musyawarahkan
Islam memberikan batasan–batasan hal–hal apa saja yang boleh dimusyawarahkan. Karena musyawarah adalah pendapat orang, maka apa–apa yang sudah ditetapkan oleh nash (Al–Qur’an dan As-Sunnah) tidak boleh dimusyawarahkan, sebab pendapat orang tidak boleh mengungguli wahyu.15
Jadi musyawarah hanyalah terbatas pada hal–hal yang bersifat Ijtihadiyah. Para sahabat pun kalau dimintai pendapat mengenai suatu hal , terlebih dahulu mereka bertanya kepada Rasulullah SAW. Apakah masalah yang dibicarakan telah diwahyukan oleh Allah atau merupakan Ijtihad Nabi. Jika pada kenyataannya adalah ijtihad Nabi, maka mereka mengemukakan pendapat.
Masalah–masalah ijtihadiyah diungkapkan dalam Al–Qur’an dengan kata Al–Amr. Istilah amruhum disini berarti masalah bersama atau “common problems”, yaitu masalah–masalah yang menyangkut kepentingan nasib atau anggota masyarakat yang bersangkutan.16

  1. Tatacara Musyawarah
Rasulullah mempunyai tata cara bermusyawarah yang sangat bervariasi ; (1) Kadang kala seseorang memberikan pertimbangan kepada beliau, lalu beliau melihat pendapat itu benar, maka beliau mengamalkannya (2) Kadang–kadang beliau bermusyawarah dengan dua atau tiga orang saja (3) Kadang kala beliau juga bermusyawarah dengan seluruh massa melalui cara perwaklian.
Dari beberapa tata cara bermusyawarah Rasulullah diatas kita dapat menyimpulkan bahwa tatacara musyawarah, anggota musyawarah bisa selalu berkembang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman, tetapi hakekat musyawarah harus selalu tegak ditengah masyarakat dan Negara.
Adapun hal–hal yang harus dimusyawarahkan dengan seluruh umat, baik langsung maupun lewat perwakilan, dan ada hal–hal yang cukup dimusyawarahkan dengan pemimpin (ulil amri), ulama, cendekiawan, dan pihak-pihak berkompeten lainnya, tetapi tetap dan tidak boleh tidak harus dengan semangat kebenaran dan kejujuran. Yang dicari dalam musyawarah adalah kebenaran bukan kemenangan.

  1. Sikap Bermusyawarah
Supaya musyawarah dapat berjalan dengan lancar dan penuh persahabatan, firman Allah dalm surat Ali Imran ayat 159 :
                                  

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (Ali Imran : 159)

Dapat kita lihat Allah SWT mengisyaratkan ada beberapa sikap yang harus dilakukan dalam bermusyawarah, yaitu sikap lemah lembut, pemaaf, dan memohon ampunan Allah SWT.

  1. Lemah Lembut
Seseorang yang melakukan musyawarah, apalagi sebagai pimpinan harus menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala, karena jika tidak, mitra musyawarah akan tidak menghormati pemimpin musyawarah.
  1. Pemaaf
Setiap orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk selalu bersedia member maaf. Karena mungkin saja ketika musyawarah terjadi perbedaan pendapat, atau keluar kalimat–kalimat yang menyinggung pihak lain. Dan bila itu masuk kedalam hati, akan mengeruhkan pikiran, bahkan boleh jadi musyawarah berubah menjadi pertengkaran.
  1. Mohon Ampunan Allah SWT
    Untuk mencapai hasil yang terbaik ketika musyawarah , hubungan dengan Tuhan pun harus harmonis. Oleh sebab itu, semua anggota musyawarah harus senantiasa membersihkan diri dengan cara memohon ampun kepada Allah SWT baik untuk diri sendiri, maupun anggota musyawarah lainnya.

  1. Menegakkan Keadilan
Istilah keadilan berasal dari kata ‘adl (Bahasa Arab), yang mempunyai arti antara lain sama dan seimbang. Dalam pengertian pertama, keadilan dapat diartikan sebagai membagi sama banyak, atau memberikan hak yang sama kepada orang-orang atau kelompok. Dengan status yang sama. Misalnya semua pegawai dengan kompetensi akademis dan pengalaman kerja yang sama berhak mendapatkan gaji dan tunjangan yang sama. Semua warga negara–sekalipun dengan status sosial-ekonomi-politik yang berbeda-beda mendapatkan perlakuan yang sama dimata hukum.17
Dalam pengertian kedua, keadilan dapat diartikan dengan memberikan hak seimbang dengan kewajiban, atau memberi seseorang sesuai dengan kebutuhannya. Misalnya orang tua yang adil akan membiayai pendidikan anak-anaknya sesuai dengan tingkat kebutuhan masing-masing sekalipun secara nominal masing-masing anak tidak mendapatkan jumlah yang sama. Dalam hukum waris misalnya, anak laki-laki ditetapkan oleh Al-Qur’an (QS. An-Nisa’:11) mendapatkan warisan dua kali bagian anak perempuan. Hal itu karena anak laki-laki setelah berkeluarga menanggung kewajiban membiayai hidup isteri dan anak-anaknya, sementara anak perempuan setelah berkeluarga dibiayai oleh suaminya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adil diartikan (1) tidak berat sebelah; tidak memihak; (2) berpihak kepada yang benar; berpegang pada kebenaran; dan (3) sepatunya; tidak sewenang-wenang.18 Beberapa pengertian ini tetap berangkat dari dua makna kata adil diatas. Dengan prinsip persamaan seorang yang adil tidak akan memihak kecuali kepada yang benar. Dan dengan azas keseimbangan seorang yang adil berbuat atau memutuskan sesuatu dengan sepatunya dan tidak bertindak sewenang-wenang.
Disamping menggunakan kata ‘adl Al-Qur’an juga menggunakan kata qisbth dan mizan untuk pengertian yang sama. Misalnya dalam dua ayat berikut ini:
    … 

“Katakanlah, “Tuhanku menyuruhku berlaku adil.” (QS. Al-A’raf : 29)

                              

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksankan keadilan. ” (QS. Al-Hadid 57:25).

  1. Perintah Berlaku Adil
Di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang memerintahkan supaya manusia berlaku adil dan menegakkan keadilan. Perintah itu ada yang bersifat umum dan ada yang khusus dalam bidang-bidang tertentu. Yang bersifat umum misalnya :
                 

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl :90)

Sedangkan yang bersifat khusus misalnya bersikap adil dalam menegakkan hukum (QS. An-Nisa’ : 58); adil dalam mendamaikan conflik (QS. Al-Hujurat :9); adil terhadap musuh (QS. Al-Maidah: 8) adil dalam rumah tangga (QS. An-Nisa’ :3 dan 129); dan adil dalam berkata (QS. Al-An’am:152).

  1. Keadilan Hukum
Islam mengajarkan bahwa semua orang mendapat perlakuan yang sama dan sederajat dalam hukum, tidak ada diskriminasi hukum karena perbedaan kulit, status sosial, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Allah menegaskan :
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa’:58).
Keadilan hukum harus ditegakkan walaupun terhadap diri sendiri, atau terhadap keluarga dan orang-orang yang dicintai. Tatkala seorang sahabat yang dekat dengan Rasulullah SAW meminta “keistimewaan” hubungan untuk seorang wanita bangsawan yang mencuri, Rasulullah menolaknya dengan tegas:
“Apakah anda hendak meminta “keistimewaan” dalam pelaksanaan hukum Allah? Sesungguhnya kehancuran ummat yang terdahulu karena mereka menghukum pencuri yang lemah, dan membiarkan pencuri yang elit. Demi Allah yang memelihara jiwa saya, kaulah Fatimah binti Muhammad mencuri, pastilah Muhammad akan memotong tangan puterinya itu.” (HR. Ahmad, Muslim dan Nasa’i)19
Mengingat pentingnya menengakkan keadilan itu menurut ajaran Islam, maka orang yang diangkat menjadi hakim haruslah yang betul-betul memenuhi syarat keahlian dan kepribadian. Kecuali mempunyai ilmu yang luas, dia juga haruslah seorang yang taat kepada Allah, mempunyai akhlaq yang mulia, terutama kejujuran atau amanah. Apabila hakim itu seorang yang lemah, maka dia mudah dipengaruhi, ditekan dan disuap. Akibatnya orang-orang yang bersalah dibebaskan dari hukumnya, sekalipun kesalahan atau kejahatannya sangat merugikan masyarakat dan negara.
Rasulullah SAW bersabda dari tiga orang hakim dua akan masuk neraka dan hanya satu yang masuk surga. Hakim yang masuk neraka adalah 1). Hakim yang menjatuhkan hukuman dengan cara yang tidak adil, bertentangan dengan hati nuraninya, bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, sedang dia sendiri mengetahui dan menyadari perbuatannya itu; 2). Hakim yang menjatuhkan hukuman yang tidak adil karena kebodohannya. Hakim yang masuk surga adalah hakim yang menjatuhkan hukuman berdasarkan keadilan dan kebenaran.

  1. Keadilan dalam Segala Hal
Disamping keadilan hukum, Islam memerintahkan kepada umat manusia, terutama orang-orang yang beriman untuk bersikap adil dalam segala aspek kehidupan, baik terhadap diri dan keluarganya sendiri, apalagi kepada orang lain. Bahkan kepada musuh sekalipun setiap mukmin harus dapat berlaku adil. Mari kita perhatikan beberapa nash berikut ini:

1. Adil terhadap diri sendiri
“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia (terdakwa atau tergugat itu) kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti bawa nafsu kamu ingin menyimpang dari kebenaran...” (QS. An-Nisa’:135)

2. Adil terhadap isteri dan anak-anak
“....Kawinilah wanita-wanita yang kamu sukai dua, tiga, atau empat. Tapi jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja...”(QS. An-Nisa’ 4:3).

3. Adil dalam mendamaikan perselisihan
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah) maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Hujurat :9).

4. Adil dalam berkata
“...Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat (mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu, diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” (QS. Al-An’am :152)

5. Adil terhadap musuh sekalipun
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-sekali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al-Maidah 5:8)
Tentu masih banyak nash Al-Qur’an dan Sunnah tentang keadilan dalam seluruh aspek kehidupan yang belum penulis sebutkan dalam fasal ini karena keterbatasan ruangan, tapi cukuplah kita menyimpulkan bahwa Islam menginginkan keadilan yang komprehensif, yang mencakup keadilan politik, ekonomi, sosial dan lain-lainnya.

  1. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Secara harfiah amar ma’ruf nahi munkar (al-amru bi ‘l-ma’ruf wa ‘n-nahyu ‘an ‘l-munkar) berarti menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.20
Ma’ruf secara etimologis berarti yang dikenal, sebaliknya munkar adalah sesuatu yang tidak dikenal. Menurut Muhammad ‘Abduh, ma’ruf adalah apa yang dikenal (baik) oleh akal sehat dan hati nurani (ma ‘arafathu al-‘uqul wa ath-thaba’ as-salimah), sedangkan munkar adalah apa yang ditolak oleh akal sehat dan hati nurani (ma ankarathu al-‘uqul wa ath-thaba’ as-salimah).21
Menurut M. Quraish shihab dalam buku Tafsir Al-Mishbah menyebutkan bahwa ma’ruf adalah nilai-nilai luhur serta adat istiadat yang diakui baik oleh masyarakat, selama hal itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai Ilahiyah. Sedangkan munkar adalah nilai buruk lagi diinkari oleh akal sehat masyarakat, dan bertentangan dengan nilai-nilai Ilahiyah.22
Terlihat dari dua definisi diatas, bahwa yang menjadi ukuran ma’ruf atau munkarnya sesuatu ada dua, yaitu agama dan akal sehat atau hati nurani. Bisa kedua-duanya sekaligus atau salah satunya. Semua yang diperintahkan oleh agama adalah ma’ruf, begitu juga sebaliknya, semua yang dilarang oleh agama adalah munkar.
Hal-hal yang tidak ditentukan oleh agama ma’ruf dan munkarnya ditentukan oleh akal sehat atau hati nurani.
Dengan pengertian diatas tentu ruang lingkup yang ma’ruf dan munkar sangat luas sekali, baik dalam aspek aqidah, ibadah, akhlaq maupun mu’amalat (sosial, politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, seni budaya, dlsb). Tauhidullah, mendirikan shalat, membayar zakat, amanah, toleransi beragama, membantu kaum dhu’afa’, disiplin, transparan dan lain sebagainya adalah beberapa contoh sikap dan perbuatan yang ma’ruf. Sebaliknya syirik, meninggalkan shalat, tidak membar zakat, penipuan, tidak toleran beragama, mengabaikan kaum dhu’afa’ dan lain sebagainya adalah beberapa contoh sikap dan perbuatan yang munkar.23

a. Perintah dan Kedudukan Amar Ma’ruf Nahi munkar
Amar ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban orang-orang yang beriman, baik secara individual maupun kolektif. Allah berfirman:
               
dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (Al-Imran: 104).

Berdasarkan ayat di atas, menurut ibn katsir yang dikutip Abdul Basit, ada dua pendapat yang berbeda. Sebagian Ada yang mengatakan kewajiban kelompok (kifayah) dan sebagian lain mengatakan kewajiban individual (‘ain). (Basit, 2006:35) Perbedaan tersebut muncul dari penafsiran terhadap kata minkum (منكم). Kelompok pertama yang banyak diikuti oleh ulama menyatakan bahwa minkum dalam ayat tersebut bermakna sebagian. Dengan demikian perintah amar ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban kolektif (fardu kifayah) Kelompok kedua menafsirkan kata minkum artinya penjelasan. Dengan demikian amar ma’ruf nahi munkar menjadi kewajiban setiap individu (farduain), masing-masing sesuai kemampuannya.24 Dalam hal ini kedua penafsiran di atas dapak dipakai. Untuk hal-hal yang dapat dilakukan secara individual, amar ma’ruf nahi munkar adalah fardu ‘ain, tapi untuk hal-hal ynag hanya dapat dilakukan bersama-sama amar ma’ruf nahi munkar menjadi fardu kifayah.

b. Nahi Munkar
Dibandingkan dengan amar ma’ruf, nahi munkar lebih berat karena berisiko tinggi, apalagi bila dilakukan terhadap penguasa yang zalim. Oleh karena itu Rasulullah SAW sangat memuliakan orang-orang yang memiliki keberanian menyatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim. Beliau bersabda: “Jihad yang paling utama ialah menyampaikan al-baq terhadap penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud, Trimizi dan Ibn Majah)
Nahi munkar dilakukan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Bagi yang mampu melakukan dengan tangan (kekuasaannya) dia harus menggunakan kekuasaannya itu, apalagi tidak bisa dengan kata-kata, dan bila dengan kata-kata juga tidak mampu paling kurang menolak dengan hatinya. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa diantara kamu melihat kemunkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Kalau tidak sanggup (dengan tangan, maka rubahlah) dengan lisannya. Dan apabla tidak sanggup (dengan lisan), maka rubahlah dengan hatinya. Yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim).

  1. Hubungan Pemimpin Dan Yang Dipimpin
Al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah SWT adalah pemimpin orang-orang yang beriman :
          

“Allah Pemimpin orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang yang kafir, pemimpin-pemimpin mereka adalah thaghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah :257)
Azh-zhulumat (kegelapan) dalam ayat diatas adalah simbol dari segala bentuk kekufuran, kemusyrikan, kefasikan dan kemaksiatan. Atau dalam bahasa sekarang azh-zhulumat adalah bermacam-macam ideologi dan isme-isme yang bertentangan dengan ajaran Islam seperti komunisme, sosialisme, kapitalisme, liberalisme, materialisme, hedonisme dan lain sebagainya. Sedangkan an-Nur adalah simbol dari ketauhidan, keimanan, ketaatan dan segala kebaikan lainnya.25
At-thaghut adalah segala sesuatu yang disembah (dipertuhan) selain dari Allah SWT dan dia suka diperlakukan sebagai Tuhan tersebut. Menurut Sayyid Qutub, Thaghut adalah segala sesuatu yang menentang kebenaran dan melanggar batas yang telah digariskan oleh Allah SWT untuk hamba-Nya. Dia bisa berbentuk pandangan hidup, peradaban dan lain-lain yang tidak berlandaskan ajaran Allah SWT.26
Secara operasional kepemimpinan Allah SWT itu dilaksanakan oleh Rasulullah SAW, dan sepeninggal beliau kepemimpinan itu dilaksanakan oleh orang-orang yang beriman. Hal itu dinyatakan di dalam Al-Qur’an :
Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)”. (Al – Maidah : 55 )

Kriteria Pemimpin dalam Islam
Pemimpin umat atau dalam ayat diatas di istilahkan dengan wali dan dalam ayat lain (Q.S An-Nisa:59) disebut dengan Ulil Amri adalah penerus kepemimpinan Rasulullah SAW setelah beliau meninggal dunia.
Orang–orang yang dapat dipilih menggantikan beliau sebagai pemimpin minimal harus memenuhi empat kriteria sebagaimana dijelaskan dalam surat Al–Maidah ayat 55.

a. Beriman kepada Allah SWT
Karena Ulil Amri adalah penerus kepemimpinan Rasulullah SAW, sedangkan Rasulullah sendiri adalah pelaksana kepemimpinan Allah SWT, maka tentu saja yang pertama kali harus dimiliki penerus beliau adalah Keimanan. Tanpa Keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya bagaimana mungkin pemimpin dapat diharapkan memimpin umat menempuh jalan Allah diatas permukaan bumi ini.27

b. Mendirikan Shalat
Shalat adalah ibadah Vertikal langsung kepada Allah SWT. Seorang pemimpin yang mendirikan shalat diharapkan memiliki hubungan vertical yang baik dengan Allah SWT . Diharapkan nilai – nilai kemuliaan dan kebaikan yang terdapat dalam shalat dapat tercermin dalam kepemimpinannya.28

c. Membayarkan Zakat
Zakat adalah ibadah madhdhah yang merupakan simbol kesucian dan kepedulian sosial. Seorang pemimpin yang berzakat diharapkan selalu berusaha mensucikan hati dan hartanya. Dia tidak mencari dan menikmati harta dengan cara yang tidak halal (missalnya: Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme ). Dan lebih dari pada itu dia memiliki kepedulian sosial yang tinggi terhadap kaum dhu’afa dan mustadh’afin. Dia akan menjadi pembela orang–orang yang lemah.29

d. Selalu Tunduk Patuh kepada Allah SWT
Dalam ayat diatas disebutkan pemimpin itu haruslah orang selalu ruku’. Ruku’ adalah simbol kepatuhan secara mutlak kepada Allah SWT dan Rasul-Nya yang secara konkret dimanifestasikan dengan menjadi seorang muslim yang kaffah, baik dalam aspek aqidah, ibadah, akhlaq maupun muamalat. Aqidahnya benar, ibadahnya tertib, dan sesuai tuntutan Nabi, akhlaknya terpuji, dan muamalatnya tidak bertentangan dengan syariat.30
  1. Macam- macam Metode Peningkatan Kualitas Akhlak
Menurut Al Ghazali, pengembangan pribadi pada hakikatnya adalah perbaikan akhlak, dalam artian menumbuh-kembangkan sifat-sifat terpuji (mahmudah) dan sekaligus menghilangkan sifat-sifat tercela (madzmummah) pada diri seseorang. Akhlak manusia benar-benar dapat diperbaiki, bahkan sangat dianjurkan sesuai sabda Rasulullah SAW “Upayakan akhlak kalian menjadi baik” (Hassinuu akhlaqakum). Al Ghazali menaruh perhatian besar pada masalah akhlak serta mengemukakan berbagai metode perbaikan ahlak. Metode peningkatan ahlak yang beliau ungkapkan dalam berbagai buku beliau dapat dikelompokkan atas tiga jenis metode yang berkaitan satu dengan lainnya yang oleh penulis makalah ini dinamakan:31
a. Metode Taat Syari’at
Metode ini berupa pembenahan diri, yakni membiasakan diri dalam hidup sehari-hari untuk melakukan kebajikan dan hal-hal bermanfaat sesuai dengan ketentuan syari’at, aturan-aturan negara, dan norma-norma kehidupan bermasyarakat. Disamping itu berusaha untuk menjauhi hal-hal yang dilarang syara’ dan aturan-aturan yang berlaku. Metode ini sederhana dan dapat dilakukan oleh siapa saja dalam kehidupan sehari-hari. Hasilnya akan berkembang sikap dan perilaku positif seperti ketaatan pada agama dan norma-norma masyarakat, hidup tenang dan wajar, senang  melakukan kebajikan, pandai menyesuaikan diri dan bebas dari permusuhan.
b. Metode Pengembangan Diri
Metode yang bercorak psiko-edukatif ini didasari oleh kesadaran atas kekuatan dan kelemahan diri yang kemudian melahirkan keinginan untuk meningkatkan sifat-sifat baik dan sekaligus menghilangkan sifat-sifat buruk. Dalam pelaksanaannya dilakukan pula proses pembiasaan (conditioning) seperti pada “Metode Taat Syari’at” ditambah dengan upaya meneladani perbuatan dari pribadi-pribadi yang dikagumi. Membiasakan diri dengan cara hidup seperti ini secara konsisten akan mengembangkan kebiasaan-kebiasaan dan sifat-sifat terpuji yang terungkap dalam kehidupan pribadi dan kehidupan bermasyarakat. Metode ini sebenarnya mirip dengan metode pertama, hanya saja dilakukan secara lebih sadar, lebih disiplin dan intensif serta lebih personal sifatnya daripada metode pertama.
c. Metode Kesufian
Metode ini bercorak spiritual-religius dan bertujuan untuk meningkat kan kualitas pribadi mendekati citra Insan Ideal (Kamil). Pelatihan disiplin diri ini menurut Al Ghazali dilakukan melalui dua jalan yakni al-mujaahadah dan al-riyaadhah. Al Mujaahadah adalah usaha sungguh-sungguh untuk menghilangkan segala hambatan pribadi (harta, kemegahan, taklid, maksiat). Al-Riyaadhah adalah latihan mendekatkan diri pada Tuhan dengan selalu berusaha meningkatkan kualitas ibadah. Kegiatan sufistik ini berlangsung dibawah bimbingan seorang Guru yang benar-benar berkualitas dalam hal ilmu, kemampuan dan wewenangnya sebagai Mursyid.
Diantara ketiga metode tersebut, metode kesufian dianggap tertinggi oleh Al Ghazali dalam proses peningkatan derajat keruhanian, khususnya dalam meraih ahlak terpuji.

  1. Menerapkan metode–metode Peningkatan Kualitas Akhlak dalam Kehidupan.
  1. Metode syari’at
  1. Membiasakan diri untuk selalu melakukan kebaikan dan menjauhi yang di larang syara’
  2. Menjauhi permusuhan
  3. Membiasakan diri untuk menyesuaikan dengan lingkungan.

  1. Metode pengembangan diri
    1. Berupaya meneladani perbuatan-perbuatan terpuji dari pribadi-pribadi yang di kagumi
    2. Membiasakan konsisten untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan terpuji dan menghilangkan sifat-sifat tercela yang ada pada diri
    3. Berusaha meningkatkan potensi-potensi baik yang ada pada diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

  1. Metode kesufian
  1. Membiasakan bersifat zuhud
  2. Melakukan riyaadhah / mendekatkan diri pada tuhan
  3. Meningkatkan kualitas ibadah.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Imam, Pengembangan Pribadi Pada Akhlak. hal. tt
Amin, Ahmad. Etika ilmu akhlak. 1995. Jakarta: Bulan Bintang.
Asmaran, Ilmu Akhlak. 1992. Jakarta: Bulan Bintang.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 1990)
http://andriwirana.blogspot.com/ dikutip pada 16 November 2013
Ilyas, Yunahar, Kuliah Akhlaq 2012, yogyakarta LPPI UMY
Saputra, thoyib sah. Aqidah Akhlak. 2004 Jakarta : karya Toha saputra.
Shihab. M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah volume 2, 2005 Jakarta: Lentera Hati
Zahruddin dan Hasanuddin sinaga. Pengantar Studi Akhlak. 2000 Jakarta : Raja grafindo
persada.



1 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq 2012, yogyakarta LPPI UMY hal 1

3 ibid

4 Zahruddin dan Hasanuddin sinaga. Pengantar Studi Akhlak. 2000 Jakarta : Raja grafindo persada. Hal 6

5 Amin, Ahmad. Etika ilmu akhlak. 1995. Jakarta: Bulan Bintang. Hal 62


6 Asmaran, Ilmu Akhlak. 1992. Jakarta: Bulan Bintang. Hal 7

7 Saputra, thoyib sah. Aqidah Akhlak. 2004 Jakarta : karya Toha saputra. Hal. 8-9

8 Asmaran, op.cit hal. 8-9

9 Yunahar Ilyas, op.cit. hal. 3

10 Yunahar Ilyas, op.cit. hal. 6

11 http://andriwirana.blogspot.com/ dikutip pada 16 nov 2013


12 Yunahar Ilyas, op.cit. hal. 229

13 Yunahar Ilyas, op.cit. hal. 230

14 Ibid. hal.232

16 Yunahar Ilyas, op.cit. hal. 232

17 Yunahar Ilyas, op.cit. hal. 235

18 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hal. 6

19 Yunahar Ilyas, op.cit. hal. 237

20 Yunahar Ilyas, op.cit. hal. 241

21 Yunahar Ilyas, op.cit. hal.241

22 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah volume 2, 2005 Jakarta: Lentera Hati hal. 173

23 Yunahar Ilyas, op.cit. hal. 241-242

24 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah volume 2, 2005 Jakarta: Lentera Hati hal.173

25 Yunahar Ilyas, op.cit. hal. 247

26 Ibid

27 Yunahar Ilyas, op.cit. hal. 248

28 Ibid.

29 Yunahar Ilyas, op.cit. hal. 248

31 Imam Al-Ghazali, Pengembangan Pribadi Pada Akhlak. hal. 25.