Akhalak
bernegara
- Pengertian Akhlaq
Secara etimologi akhlak adalah
bentuk jamak dari khuluq
yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku dan tabi’at.
Berakar dari kata khalaqa yang berarti menciptakan. Seakar dengan
kata khaliq
(pencipta), makhluq
(yang diciptakan) dan khalq
(penciptaan).1
Sedangkan akhlak menurut
istilah sebagaimana di ungkapkan oleh Imam Al-Ghazali adalah sebagai
berikut : akhlak adalah suatu bentuk sifat
(naluri asli) yang tertanam dalam
jiwa yang menimbulkan
perbuatan–perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan.
Apabila naluri tersebut
melahirkan suatu tindakan dan kelakuan yang baik dan terpuji menurut
akal dan agama, maka disebut budi pekerti yang baik. Namun sebaliknya
bila melahirkan tindakan dan kelakuan yang jahat maka disebut budi
pekerti yang buruk.2
Sedangkan akhlak menurut
Ibrahim Anis adalah sifat yang tertanam di dalam jiwa yang dengannya
malahirkan macam-macam perbuatan baik / buruk tampa membutuhkan
pemikiran dan pertimbangan. Menurut
Abdul Karim Zaidan akhlak adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang
tertanam dalam jiwa yang dengan sorotan dan timbangannya seseorang
dapat menilai perbuatan baik / burk untuk kemudian memilih melakukan
/ meninggalkannya.3
Menurut Ja’ad maulana “akhlak adalah ilmu yang menyelidiki gerak
jiwa manusia, apa yang dibiasakan mereka dari perbuatan dan perkatan
dan menyingkap hakikat-hakikat baik dan buruk”.4
Dan menurut Ahmad amin adalah kehendak yang biasa dilakukan. Artinya
segala sesuatu yang kehendak yang terbiasa dilakukan, disebut
akhlak.5
Dari beberapa pengertian
tersebut bisa kita ambil kesimpulan bahwa akhlak / khuluq
itu adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia sehingga dia akan
muncul secara spontan bilamana diperlukan, tanpa memerlukan pemikiran
/ pertimbangan terlebih dahulu serta tidak memerlukan dorongan dari
luar.
- Istilah lain dari akhlak
Dalam pembahasan akhlak atau
ilmu akhlak ada beberapa istilah yang sering digunakan
untuk mengatakan akhlak atau ilmu akhlak tersebut. Istilah-istilah
itu adalah:
- Etika
Perkataan etika berasal dari bahasa yunani ethos
yang berarti adat kebiasaan. Di dalam kamus istilah pendidikan dan
umum dikatakan bahwa etika adalah bagian dari filsafat yang
mengajarkan keluhuran budi (baik dan buruk). Menurut Dr. H. Hamzah
ya’qub “etika adalah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan
mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh
yang dapat diketahui oleh akal pikiran”.6
Etika menurut Ki Hajar Dewantara “etika adalah ilmu yang
mempelajari soal kebaikan dan keburukan di dalam hidup manusia
semuanya”.7
- Moral
Perkataan moral berasl dari bahasa Latin mores
yaitu jamak dari mos
yang berarti adat kebiasaan. Di dalam kamus umum bahasa Indonesia
dikatakan bahwa moral adalah baik buruk perbuatan dan perkataan.
Moral merupakan istilah yang digunakan untuk memberikan batasan
terhadap aktivitas manusia dengan nilai atau hukum baik dan buruk.
Perbedaan antara moral dan etika yaitu, etika lebih banyak bersifat
teoritis sedangkan moral lebih banyak bersifat praktis. Etika
memandang tingkah laku manusia saecara umum, sedangkan moral secara
lokal.8
Etika setandarnya pertimbangan akal pikiran; moral standasrnya adat
kebiasaan yang umum berlaku dimasyarakat.9
- Ruang lingkup akhlak
Yunahar Ilyas membagi pembahasan akhlak dengan
enam bagian, yaitu:
- Akhlak terhadap Allah swt.
- Akhlak terhadap Rasulullah saw.
- Akhlak pribadi
- Akhlak dalam keluarga
- Akhlak bermasyarakat
- Akhlak bernegara.10
Adapun ruang lingkup bidang studi akhlak adalah:
- Akhlak terhadap diri sendiri meliputi kewajiban terhadap dirinya disertai dengan larangan merusak, membinasakan dan menganiyaya diri baik secara jasmani (memotong dan merusak badan), maupun secara rohani (membirkan larut dalam kesedihan).
- Akhlak dalam keluarga meliputi segala sikap dan perilaku dalam keluarga, contohnya berbakti pada orang tua, menghormati orang tua dan tidak berkata-kata yang menyakitkan mereka.
- Akhlak dalam masyarakat meliputi sikap kita dalam menjalani kehidupan soaial, menolong sesama, menciptakan masyarakat yang adil yang berlandaskan Al-Qur’an dan hadis.
- Akhlak dalam bernegara meliputi kepatuhan terhadap Ulil Amri selama tidak bermaksiat kepada agama, ikut serta dalam membangun Negara dalam bentuk lisan maupun fikiran.
- Akhlak terhadap agama meliputi berimn kepada Allah, tidak menyekutukan-Nya, beribadah kepada Allah. Taat kepada Rasul serta meniru segala tingkah lakunya.11
Prinsip akhlak dalam Islam yang paling menonjol
adalah bahwa manusia dalam melakukan tindakan-tindakannya, ia
mempunyai kehendak-kehendak dan tidak melakukan sesuatu. Ia harus
bertanggung jawab atas semua yang dilakukannya dan harus menjaga
perintah dan larangan akhlak. Tanggung jawab itu merupakan tanggung
jawab pribadi muslim, begitupun dalam kehidupan sehari-hari harus
selalu menampakkan sikap perbuatan berakhlak. Akan tetapi akhlak
bukalah semata-mata hanya perbuatan akan tetapi lebih kepada gambaran
jiwa yang tersembunyi.
Dari pembagian ruang lingkup diatas penulis ingin
menerangkan secara khusus tentang akhalak bernegara.
- Akhlak Bernegara
- Musyawarah
Secara etimologis, musyawarah berasal dari kata
syawara
yang pada awalnya bermakna mengeluarkan madu dari tempatnya. Makna
ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat
diambil atau dikeluarkan dari yang lain termasuk pendapat.
Kata musyawarah adalah bentuk jamak masdar
dari kata syawara
yang dari segi jenisnya termasuk kata kerja mu’faalah
(perbuatan yang dilakukan timbal balik),12
musyawarah itu bersifat dialogis bukan monologis, jadi semua anggota
musyawarah bebas mengeluarkan pendapatnya. Dengan kebebasan berdialog
itulah diharapkan dapat diketahui kelemahan pendapat yang
dikemukakan, sehingga keputusan yang dihasilkan tidak lagi mengandung
kelemahan.
- Arti penting musyawarah
Musyawarah atau syuara adalah sesuatau yang sangat
penting guna menciptakan persaturan di dalam masyarakat mana pun.
Adapun salah satu ayat dalam Al–Qur’an yang
membahas mengenai Musyawarah adalah surah Al-Syura ayat 38
“ Dan (bagi) orang-orang yang menjahui
dosa-dosa besar dan perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka
memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (memetuhi) seruan
tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan)
dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menakahkan sebagian dari
rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”
(QS. Asy-Syura :38)
Dalam ayat diatas, syura
atau musyawarah sebagai sifat ketiga bagi masyarakat Islam dituturkan
setelah iman dan shalat . Menurut Taufiq asy-Syawi, hal ini memberi
pengertian bahwa musyawarah mempunyai martabat setelah ibadah
terpenting , yakni shalat, sekaligus memberi pengertian bahwa
musyawarah merupakan salah satu ibadah yang tingkatannya sama dengan
shalat dan zakat. Maka masyarakat yang mengabaikannya dianggap
sebagai masyarakat yang tidak menetapi salah satu ibadah.13
Memang, musyawarah sangat diperlukan untuk dapat
mengambil keputusan yang paling baik disamping untuk memperkokoh rasa
persatuan dan rasa tanggung jawab bersama. Ali Bin Abi Thalib
menyebutkan bahwa dalam musyawarah terdapat tujuh hal penting yaitu ,
mengambil kesimpulan yang benar, mencari pendapat, menjaga
kekeliruan, menghindari celaan, menciptakan stabilitas emosi,
keterpaduan hati, mengikuti atsar.14
- Hal–Hal yang Boleh di Musyawarahkan
Islam memberikan batasan–batasan hal–hal apa
saja yang boleh dimusyawarahkan. Karena musyawarah adalah pendapat
orang, maka apa–apa yang sudah ditetapkan oleh nash (Al–Qur’an
dan As-Sunnah) tidak boleh dimusyawarahkan, sebab pendapat orang
tidak boleh mengungguli wahyu.15
Jadi musyawarah hanyalah terbatas pada hal–hal yang bersifat Ijtihadiyah. Para sahabat pun kalau dimintai pendapat mengenai suatu hal , terlebih dahulu mereka bertanya kepada Rasulullah SAW. Apakah masalah yang dibicarakan telah diwahyukan oleh Allah atau merupakan Ijtihad Nabi. Jika pada kenyataannya adalah ijtihad Nabi, maka mereka mengemukakan pendapat.
Jadi musyawarah hanyalah terbatas pada hal–hal yang bersifat Ijtihadiyah. Para sahabat pun kalau dimintai pendapat mengenai suatu hal , terlebih dahulu mereka bertanya kepada Rasulullah SAW. Apakah masalah yang dibicarakan telah diwahyukan oleh Allah atau merupakan Ijtihad Nabi. Jika pada kenyataannya adalah ijtihad Nabi, maka mereka mengemukakan pendapat.
Masalah–masalah ijtihadiyah diungkapkan dalam
Al–Qur’an dengan kata Al–Amr. Istilah amruhum disini berarti
masalah bersama atau “common
problems”, yaitu masalah–masalah
yang menyangkut kepentingan nasib atau anggota masyarakat yang
bersangkutan.16
- Tatacara Musyawarah
Rasulullah mempunyai tata cara bermusyawarah yang
sangat bervariasi ; (1) Kadang kala seseorang memberikan pertimbangan
kepada beliau, lalu beliau melihat pendapat itu benar, maka beliau
mengamalkannya (2) Kadang–kadang beliau bermusyawarah dengan dua
atau tiga orang saja (3) Kadang kala beliau juga bermusyawarah dengan
seluruh massa melalui cara perwaklian.
Dari beberapa tata cara bermusyawarah Rasulullah
diatas kita dapat menyimpulkan bahwa tatacara musyawarah, anggota
musyawarah bisa selalu berkembang sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan zaman, tetapi hakekat musyawarah harus selalu tegak
ditengah masyarakat dan Negara.
Adapun hal–hal yang harus dimusyawarahkan dengan
seluruh umat, baik langsung maupun lewat perwakilan, dan ada hal–hal
yang cukup dimusyawarahkan dengan pemimpin (ulil
amri), ulama, cendekiawan, dan
pihak-pihak berkompeten lainnya, tetapi tetap dan tidak boleh tidak
harus dengan semangat kebenaran dan kejujuran. Yang dicari dalam
musyawarah adalah kebenaran bukan kemenangan.
- Sikap Bermusyawarah
Supaya musyawarah dapat berjalan dengan lancar dan
penuh persahabatan, firman Allah dalm surat Ali Imran ayat 159 :
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu
berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras
lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya”. (Ali Imran : 159)
Dapat kita lihat Allah SWT mengisyaratkan ada
beberapa sikap yang harus dilakukan dalam bermusyawarah, yaitu sikap
lemah lembut, pemaaf, dan memohon ampunan Allah SWT.
- Lemah Lembut
Seseorang yang melakukan musyawarah, apalagi
sebagai pimpinan harus menghindari tutur kata yang kasar serta sikap
keras kepala, karena jika tidak, mitra musyawarah akan tidak
menghormati pemimpin musyawarah.
- Pemaaf
Setiap orang yang bermusyawarah harus menyiapkan
mental untuk selalu bersedia member maaf. Karena mungkin saja ketika
musyawarah terjadi perbedaan pendapat, atau keluar kalimat–kalimat
yang menyinggung pihak lain. Dan bila itu masuk kedalam hati, akan
mengeruhkan pikiran, bahkan boleh jadi musyawarah berubah menjadi
pertengkaran.
- Mohon Ampunan Allah SWT
Untuk mencapai hasil yang terbaik ketika musyawarah , hubungan dengan Tuhan pun harus harmonis. Oleh sebab itu, semua anggota musyawarah harus senantiasa membersihkan diri dengan cara memohon ampun kepada Allah SWT baik untuk diri sendiri, maupun anggota musyawarah lainnya.
- Menegakkan Keadilan
Istilah keadilan berasal dari kata ‘adl
(Bahasa Arab), yang mempunyai arti antara lain sama dan seimbang.
Dalam pengertian pertama, keadilan dapat diartikan sebagai membagi
sama banyak, atau memberikan hak yang sama kepada orang-orang atau
kelompok. Dengan status yang sama. Misalnya semua pegawai dengan
kompetensi akademis dan pengalaman kerja yang sama berhak mendapatkan
gaji dan tunjangan yang sama. Semua warga negara–sekalipun dengan
status sosial-ekonomi-politik yang berbeda-beda mendapatkan perlakuan
yang sama dimata hukum.17
Dalam pengertian kedua, keadilan dapat diartikan
dengan memberikan hak seimbang dengan kewajiban, atau memberi
seseorang sesuai dengan kebutuhannya. Misalnya orang tua yang adil
akan membiayai pendidikan anak-anaknya sesuai dengan tingkat
kebutuhan masing-masing sekalipun secara nominal masing-masing anak
tidak mendapatkan jumlah yang sama. Dalam hukum waris misalnya, anak
laki-laki ditetapkan oleh Al-Qur’an (QS. An-Nisa’:11) mendapatkan
warisan dua kali bagian anak perempuan. Hal itu karena anak laki-laki
setelah berkeluarga menanggung kewajiban membiayai hidup isteri dan
anak-anaknya, sementara anak perempuan setelah berkeluarga dibiayai
oleh suaminya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adil diartikan
(1) tidak berat sebelah; tidak memihak; (2) berpihak kepada yang
benar; berpegang pada kebenaran; dan (3) sepatunya; tidak
sewenang-wenang.18
Beberapa pengertian ini tetap berangkat dari dua makna kata adil
diatas. Dengan prinsip persamaan seorang yang adil tidak akan memihak
kecuali kepada yang benar. Dan dengan azas keseimbangan seorang yang
adil berbuat atau memutuskan sesuatu dengan sepatunya dan tidak
bertindak sewenang-wenang.
Disamping menggunakan kata ‘adl Al-Qur’an juga
menggunakan kata qisbth
dan mizan
untuk pengertian yang sama. Misalnya dalam dua ayat berikut ini:
…
“Katakanlah, “Tuhanku menyuruhku berlaku adil.” (QS. Al-A’raf : 29)
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksankan keadilan. ” (QS. Al-Hadid 57:25).
- Perintah Berlaku Adil
Di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang
memerintahkan supaya manusia berlaku adil dan menegakkan keadilan.
Perintah itu ada yang bersifat umum dan ada yang khusus dalam
bidang-bidang tertentu. Yang bersifat umum misalnya :
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl :90)
Sedangkan yang bersifat khusus misalnya bersikap
adil dalam menegakkan hukum (QS. An-Nisa’ : 58); adil dalam
mendamaikan conflik (QS. Al-Hujurat :9); adil terhadap musuh (QS.
Al-Maidah: 8) adil dalam rumah tangga (QS. An-Nisa’ :3 dan 129);
dan adil dalam berkata (QS. Al-An’am:152).
- Keadilan Hukum
Islam mengajarkan bahwa semua orang mendapat
perlakuan yang sama dan sederajat dalam hukum, tidak ada diskriminasi
hukum karena perbedaan kulit, status sosial, ekonomi, politik dan
lain sebagainya. Allah menegaskan :
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa’:58).
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa’:58).
Keadilan hukum harus ditegakkan walaupun terhadap
diri sendiri, atau terhadap keluarga dan orang-orang yang dicintai.
Tatkala seorang sahabat yang dekat dengan Rasulullah SAW meminta
“keistimewaan” hubungan untuk seorang wanita bangsawan yang
mencuri, Rasulullah menolaknya dengan tegas:
“Apakah anda hendak meminta “keistimewaan” dalam pelaksanaan hukum Allah? Sesungguhnya kehancuran ummat yang terdahulu karena mereka menghukum pencuri yang lemah, dan membiarkan pencuri yang elit. Demi Allah yang memelihara jiwa saya, kaulah Fatimah binti Muhammad mencuri, pastilah Muhammad akan memotong tangan puterinya itu.” (HR. Ahmad, Muslim dan Nasa’i)19
“Apakah anda hendak meminta “keistimewaan” dalam pelaksanaan hukum Allah? Sesungguhnya kehancuran ummat yang terdahulu karena mereka menghukum pencuri yang lemah, dan membiarkan pencuri yang elit. Demi Allah yang memelihara jiwa saya, kaulah Fatimah binti Muhammad mencuri, pastilah Muhammad akan memotong tangan puterinya itu.” (HR. Ahmad, Muslim dan Nasa’i)19
Mengingat pentingnya menengakkan keadilan itu
menurut ajaran Islam, maka orang yang diangkat menjadi hakim haruslah
yang betul-betul memenuhi syarat keahlian dan kepribadian. Kecuali
mempunyai ilmu yang luas, dia juga haruslah seorang yang taat kepada
Allah, mempunyai akhlaq yang mulia, terutama kejujuran atau amanah.
Apabila hakim itu seorang yang lemah, maka dia mudah dipengaruhi,
ditekan dan disuap. Akibatnya orang-orang yang bersalah dibebaskan
dari hukumnya, sekalipun kesalahan atau kejahatannya sangat merugikan
masyarakat dan negara.
Rasulullah SAW bersabda dari tiga orang hakim dua
akan masuk neraka dan hanya satu yang masuk surga. Hakim yang masuk
neraka adalah 1). Hakim yang menjatuhkan hukuman dengan cara yang
tidak adil, bertentangan dengan hati nuraninya, bertentangan dengan
Al-Qur’an dan Sunnah, sedang dia sendiri mengetahui dan menyadari
perbuatannya itu; 2). Hakim yang menjatuhkan hukuman yang tidak adil
karena kebodohannya. Hakim yang masuk surga adalah hakim yang
menjatuhkan hukuman berdasarkan keadilan dan kebenaran.
- Keadilan dalam Segala Hal
Disamping keadilan hukum, Islam memerintahkan
kepada umat manusia, terutama orang-orang yang beriman untuk bersikap
adil dalam segala aspek kehidupan, baik terhadap diri dan keluarganya
sendiri, apalagi kepada orang lain. Bahkan kepada musuh sekalipun
setiap mukmin harus dapat berlaku adil. Mari kita perhatikan beberapa
nash berikut ini:
1. Adil terhadap diri sendiri “Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia (terdakwa atau tergugat itu) kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti bawa nafsu kamu ingin menyimpang dari kebenaran...” (QS. An-Nisa’:135)
2. Adil terhadap isteri dan anak-anak “....Kawinilah wanita-wanita yang kamu sukai dua, tiga, atau empat. Tapi jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja...”(QS. An-Nisa’ 4:3).
3. Adil dalam mendamaikan perselisihan “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah) maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Hujurat :9).
1. Adil terhadap diri sendiri “Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia (terdakwa atau tergugat itu) kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti bawa nafsu kamu ingin menyimpang dari kebenaran...” (QS. An-Nisa’:135)
2. Adil terhadap isteri dan anak-anak “....Kawinilah wanita-wanita yang kamu sukai dua, tiga, atau empat. Tapi jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja...”(QS. An-Nisa’ 4:3).
3. Adil dalam mendamaikan perselisihan “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah) maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Hujurat :9).
4. Adil dalam berkata “...Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat (mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu, diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” (QS. Al-An’am :152)
5. Adil terhadap musuh sekalipun “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-sekali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. Al-Maidah 5:8)
Tentu masih banyak nash Al-Qur’an dan Sunnah
tentang keadilan dalam seluruh aspek kehidupan yang belum penulis
sebutkan dalam fasal ini karena keterbatasan ruangan, tapi cukuplah
kita menyimpulkan bahwa Islam menginginkan keadilan yang
komprehensif, yang mencakup keadilan politik, ekonomi, sosial dan
lain-lainnya.
- Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Secara harfiah amar ma’ruf nahi munkar (al-amru
bi ‘l-ma’ruf wa ‘n-nahyu ‘an ‘l-munkar)
berarti menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.20
Ma’ruf secara etimologis berarti yang dikenal,
sebaliknya munkar adalah sesuatu yang tidak dikenal. Menurut Muhammad
‘Abduh, ma’ruf adalah apa yang dikenal (baik) oleh akal sehat dan
hati nurani (ma ‘arafathu al-‘uqul
wa ath-thaba’ as-salimah), sedangkan
munkar adalah apa yang ditolak oleh akal sehat dan hati nurani (ma
ankarathu al-‘uqul wa ath-thaba’ as-salimah).21
Menurut
M. Quraish shihab dalam buku Tafsir
Al-Mishbah
menyebutkan bahwa
ma’ruf adalah
nilai-nilai luhur serta adat istiadat yang diakui baik oleh
masyarakat, selama hal itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai
Ilahiyah. Sedangkan munkar
adalah nilai buruk lagi diinkari oleh akal sehat masyarakat, dan
bertentangan dengan nilai-nilai Ilahiyah.22
Terlihat
dari dua definisi diatas, bahwa yang menjadi ukuran ma’ruf atau
munkarnya sesuatu ada dua, yaitu agama dan akal sehat atau hati
nurani. Bisa kedua-duanya sekaligus atau salah satunya. Semua yang
diperintahkan oleh agama adalah ma’ruf, begitu juga sebaliknya,
semua yang dilarang oleh agama adalah munkar.
Hal-hal
yang tidak ditentukan oleh agama ma’ruf dan munkarnya ditentukan
oleh akal sehat atau hati nurani.
Dengan
pengertian diatas tentu ruang lingkup yang ma’ruf dan munkar sangat
luas sekali, baik dalam aspek aqidah, ibadah, akhlaq maupun mu’amalat
(sosial, politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, seni budaya,
dlsb). Tauhidullah,
mendirikan shalat, membayar zakat, amanah, toleransi beragama,
membantu kaum dhu’afa’, disiplin, transparan dan lain sebagainya
adalah beberapa contoh sikap dan perbuatan yang ma’ruf. Sebaliknya
syirik, meninggalkan shalat, tidak membar zakat, penipuan, tidak
toleran beragama, mengabaikan kaum dhu’afa’ dan lain sebagainya
adalah beberapa contoh sikap dan perbuatan yang munkar.23
a. Perintah dan Kedudukan Amar Ma’ruf Nahi munkar
Amar
ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban orang-orang yang beriman, baik
secara individual maupun kolektif. Allah berfirman:
“dan
hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”.
(Al-Imran: 104).
Berdasarkan
ayat di atas, menurut ibn katsir yang dikutip Abdul Basit, ada dua
pendapat yang berbeda. Sebagian Ada yang mengatakan kewajiban
kelompok (kifayah)
dan sebagian lain mengatakan kewajiban individual (‘ain).
(Basit, 2006:35) Perbedaan tersebut muncul dari penafsiran terhadap
kata minkum
(منكم).
Kelompok pertama yang banyak diikuti oleh ulama menyatakan bahwa
minkum
dalam ayat tersebut bermakna sebagian. Dengan demikian perintah amar
ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban kolektif (fardu
kifayah) Kelompok
kedua menafsirkan kata minkum
artinya penjelasan. Dengan demikian amar ma’ruf nahi munkar menjadi
kewajiban setiap individu (fardu
‘ain),
masing-masing sesuai kemampuannya.24
Dalam hal ini kedua penafsiran di atas dapak dipakai. Untuk hal-hal
yang dapat dilakukan secara individual, amar ma’ruf nahi munkar
adalah fardu ‘ain, tapi untuk hal-hal ynag hanya dapat dilakukan
bersama-sama amar ma’ruf nahi munkar menjadi fardu kifayah.
b.
Nahi Munkar
Dibandingkan
dengan amar ma’ruf, nahi munkar lebih berat karena berisiko tinggi,
apalagi bila dilakukan terhadap penguasa yang zalim. Oleh karena itu
Rasulullah SAW sangat memuliakan orang-orang yang memiliki keberanian
menyatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim. Beliau
bersabda: “Jihad
yang paling utama ialah menyampaikan al-baq terhadap penguasa yang
zalim.” (HR. Abu
Daud, Trimizi dan Ibn Majah)
Nahi
munkar dilakukan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Bagi yang
mampu melakukan dengan tangan (kekuasaannya) dia harus menggunakan
kekuasaannya itu, apalagi tidak bisa dengan kata-kata, dan bila
dengan kata-kata juga tidak mampu paling kurang menolak dengan
hatinya. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa diantara kamu melihat kemunkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Kalau tidak sanggup (dengan tangan, maka rubahlah) dengan lisannya. Dan apabla tidak sanggup (dengan lisan), maka rubahlah dengan hatinya. Yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim).
“Barangsiapa diantara kamu melihat kemunkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Kalau tidak sanggup (dengan tangan, maka rubahlah) dengan lisannya. Dan apabla tidak sanggup (dengan lisan), maka rubahlah dengan hatinya. Yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim).
- Hubungan Pemimpin Dan Yang Dipimpin
Al-Qur’an
menjelaskan bahwa Allah SWT adalah pemimpin orang-orang yang beriman
:
“Allah Pemimpin orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang yang kafir, pemimpin-pemimpin mereka adalah thaghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah :257)
Azh-zhulumat
(kegelapan) dalam ayat diatas adalah simbol dari segala bentuk
kekufuran, kemusyrikan, kefasikan dan kemaksiatan. Atau dalam bahasa
sekarang azh-zhulumat
adalah bermacam-macam ideologi dan isme-isme yang bertentangan dengan
ajaran Islam seperti komunisme, sosialisme, kapitalisme, liberalisme,
materialisme, hedonisme dan lain sebagainya. Sedangkan an-Nur adalah
simbol dari ketauhidan, keimanan, ketaatan dan segala kebaikan
lainnya.25
At-thaghut
adalah segala sesuatu yang disembah (dipertuhan) selain dari Allah
SWT dan dia suka diperlakukan sebagai Tuhan tersebut. Menurut Sayyid
Qutub, Thaghut
adalah segala
sesuatu yang menentang kebenaran dan melanggar batas yang telah
digariskan oleh Allah SWT untuk hamba-Nya. Dia bisa berbentuk
pandangan hidup, peradaban dan lain-lain yang tidak berlandaskan
ajaran Allah SWT.26
Secara
operasional kepemimpinan Allah SWT itu dilaksanakan oleh Rasulullah
SAW, dan sepeninggal beliau kepemimpinan itu dilaksanakan oleh
orang-orang yang beriman. Hal itu dinyatakan di dalam Al-Qur’an :
“Sesungguhnya
penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang
beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka
tunduk (kepada Allah)”.
(Al – Maidah : 55 )
Kriteria Pemimpin dalam Islam
Kriteria Pemimpin dalam Islam
Pemimpin
umat atau dalam ayat diatas di istilahkan dengan wali dan dalam ayat
lain (Q.S An-Nisa:59) disebut dengan Ulil
Amri adalah penerus
kepemimpinan Rasulullah SAW setelah beliau meninggal dunia.
Orang–orang yang dapat dipilih menggantikan beliau sebagai pemimpin minimal harus memenuhi empat kriteria sebagaimana dijelaskan dalam surat Al–Maidah ayat 55.
a. Beriman kepada Allah SWT
Orang–orang yang dapat dipilih menggantikan beliau sebagai pemimpin minimal harus memenuhi empat kriteria sebagaimana dijelaskan dalam surat Al–Maidah ayat 55.
a. Beriman kepada Allah SWT
Karena
Ulil Amri
adalah penerus kepemimpinan Rasulullah SAW, sedangkan Rasulullah
sendiri adalah pelaksana kepemimpinan Allah SWT, maka tentu saja yang
pertama kali harus dimiliki penerus beliau adalah Keimanan. Tanpa
Keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya bagaimana mungkin pemimpin dapat
diharapkan memimpin umat menempuh jalan Allah diatas permukaan bumi
ini.27
b. Mendirikan Shalat
b. Mendirikan Shalat
Shalat
adalah ibadah Vertikal langsung kepada Allah SWT. Seorang pemimpin
yang mendirikan shalat diharapkan memiliki hubungan vertical yang
baik dengan Allah SWT . Diharapkan nilai – nilai kemuliaan dan
kebaikan yang terdapat dalam shalat dapat tercermin dalam
kepemimpinannya.28
c. Membayarkan Zakat
c. Membayarkan Zakat
Zakat
adalah ibadah madhdhah yang merupakan simbol kesucian dan kepedulian
sosial. Seorang pemimpin yang berzakat diharapkan selalu berusaha
mensucikan hati dan hartanya. Dia tidak mencari dan menikmati harta
dengan cara yang tidak halal (missalnya: Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme ). Dan lebih dari pada itu dia memiliki kepedulian sosial
yang tinggi terhadap kaum dhu’afa
dan mustadh’afin.
Dia akan menjadi pembela orang–orang yang lemah.29
d. Selalu Tunduk Patuh kepada Allah SWT
d. Selalu Tunduk Patuh kepada Allah SWT
Dalam
ayat diatas disebutkan pemimpin itu haruslah orang selalu ruku’.
Ruku’ adalah simbol kepatuhan secara mutlak kepada Allah SWT dan
Rasul-Nya yang secara konkret dimanifestasikan dengan menjadi seorang
muslim yang kaffah, baik dalam aspek aqidah, ibadah, akhlaq maupun
muamalat. Aqidahnya benar, ibadahnya tertib, dan sesuai tuntutan
Nabi, akhlaknya terpuji, dan muamalatnya tidak bertentangan dengan
syariat.30
- Macam- macam Metode Peningkatan Kualitas Akhlak
Menurut
Al Ghazali, pengembangan pribadi pada hakikatnya adalah perbaikan
akhlak, dalam artian menumbuh-kembangkan sifat-sifat terpuji
(mahmudah) dan
sekaligus menghilangkan sifat-sifat tercela (madzmummah)
pada diri seseorang. Akhlak
manusia benar-benar dapat diperbaiki, bahkan sangat dianjurkan sesuai
sabda Rasulullah SAW “Upayakan akhlak kalian menjadi baik”
(Hassinuu
akhlaqakum).
Al Ghazali menaruh perhatian besar pada masalah akhlak serta
mengemukakan berbagai metode perbaikan ahlak. Metode peningkatan
ahlak yang beliau ungkapkan dalam berbagai buku beliau dapat
dikelompokkan atas tiga jenis metode yang berkaitan satu dengan
lainnya yang oleh penulis makalah ini dinamakan:31
a.
Metode Taat Syari’at
Metode
ini berupa pembenahan diri, yakni membiasakan diri dalam hidup
sehari-hari untuk melakukan kebajikan dan hal-hal bermanfaat sesuai
dengan ketentuan syari’at, aturan-aturan negara, dan norma-norma
kehidupan bermasyarakat. Disamping
itu berusaha untuk menjauhi hal-hal yang dilarang syara’ dan
aturan-aturan yang berlaku. Metode ini sederhana dan dapat dilakukan
oleh siapa saja dalam kehidupan sehari-hari. Hasilnya akan berkembang
sikap dan perilaku positif seperti ketaatan pada agama dan
norma-norma masyarakat, hidup tenang dan wajar, senang melakukan
kebajikan, pandai menyesuaikan diri dan bebas dari permusuhan.
b.
Metode Pengembangan Diri
Metode
yang bercorak psiko-edukatif ini didasari oleh kesadaran atas
kekuatan dan kelemahan diri yang kemudian melahirkan keinginan untuk
meningkatkan sifat-sifat baik dan sekaligus menghilangkan sifat-sifat
buruk. Dalam
pelaksanaannya dilakukan pula proses pembiasaan (conditioning)
seperti pada “Metode Taat Syari’at” ditambah dengan upaya
meneladani perbuatan dari pribadi-pribadi yang dikagumi. Membiasakan
diri dengan cara hidup seperti ini secara konsisten akan
mengembangkan kebiasaan-kebiasaan dan sifat-sifat terpuji yang
terungkap dalam kehidupan pribadi dan kehidupan bermasyarakat. Metode
ini sebenarnya mirip dengan metode pertama, hanya saja dilakukan
secara lebih sadar, lebih disiplin dan intensif serta lebih personal
sifatnya daripada metode pertama.
c.
Metode Kesufian
Metode
ini bercorak spiritual-religius dan bertujuan untuk meningkat kan
kualitas pribadi mendekati citra Insan Ideal (Kamil). Pelatihan
disiplin diri ini menurut Al Ghazali dilakukan melalui dua jalan
yakni al-mujaahadah dan al-riyaadhah. Al Mujaahadah adalah usaha
sungguh-sungguh untuk menghilangkan segala hambatan pribadi (harta,
kemegahan, taklid, maksiat). Al-Riyaadhah adalah latihan mendekatkan
diri pada Tuhan dengan selalu berusaha meningkatkan kualitas ibadah.
Kegiatan sufistik ini berlangsung dibawah bimbingan seorang Guru yang
benar-benar berkualitas dalam hal ilmu, kemampuan dan wewenangnya
sebagai Mursyid.
Diantara ketiga metode
tersebut, metode kesufian dianggap tertinggi oleh Al Ghazali dalam
proses peningkatan derajat keruhanian, khususnya dalam meraih ahlak
terpuji.
- Menerapkan metode–metode Peningkatan Kualitas Akhlak dalam Kehidupan.
- Metode syari’at
- Membiasakan diri untuk selalu melakukan kebaikan dan menjauhi yang di larang syara’
- Menjauhi permusuhan
- Membiasakan diri untuk menyesuaikan dengan lingkungan.
- Metode pengembangan diri
- Berupaya meneladani perbuatan-perbuatan terpuji dari pribadi-pribadi yang di kagumi
- Membiasakan konsisten untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan terpuji dan menghilangkan sifat-sifat tercela yang ada pada diri
- Berusaha meningkatkan potensi-potensi baik yang ada pada diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
- Metode kesufian
- Membiasakan bersifat zuhud
- Melakukan riyaadhah / mendekatkan diri pada tuhan
- Meningkatkan kualitas ibadah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali,
Imam, Pengembangan
Pribadi Pada Akhlak.
hal. tt
Amin,
Ahmad. Etika ilmu
akhlak. 1995.
Jakarta: Bulan
Bintang.
Asmaran,
Ilmu Akhlak.
1992. Jakarta:
Bulan Bintang.
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai
Pustaka,
1990)
http://andriwirana.blogspot.com/
dikutip pada 16 November 2013
http://rahmatzoom.blogspot.com/2012/11/akhlak-bernegara_16.html
19 November 2013
Ilyas,
Yunahar, Kuliah
Akhlaq 2012,
yogyakarta LPPI UMY
Saputra,
thoyib sah. Aqidah
Akhlak.
2004 Jakarta : karya Toha saputra.
Shihab.
M. Quraish, Tafsir
Al-Mishbah volume
2, 2005 Jakarta: Lentera Hati
Zahruddin
dan Hasanuddin sinaga. Pengantar
Studi
Akhlak.
2000 Jakarta :
Raja grafindo
persada.
1
Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq 2012, yogyakarta LPPI UMY hal 1
3
ibid
4
Zahruddin dan Hasanuddin
sinaga. Pengantar
Studi
Akhlak.
2000 Jakarta : Raja grafindo persada. Hal
6
6
Asmaran, Ilmu Akhlak. 1992. Jakarta: Bulan Bintang.
Hal 7
7
Saputra, thoyib sah. Aqidah
Akhlak. 2004 Jakarta
: karya Toha saputra. Hal. 8-9
8
Asmaran, op.cit hal. 8-9
9
Yunahar Ilyas, op.cit. hal. 3
10
Yunahar Ilyas, op.cit. hal. 6
12
Yunahar Ilyas, op.cit. hal. 229
13
Yunahar Ilyas, op.cit. hal. 230
14
Ibid. hal.232
16
Yunahar Ilyas, op.cit. hal. 232
17
Yunahar Ilyas, op.cit. hal. 235
18
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hal. 6
19
Yunahar Ilyas, op.cit. hal. 237
20
Yunahar Ilyas, op.cit. hal. 241
21
Yunahar Ilyas, op.cit. hal.241
22
M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah
volume 2, 2005 Jakarta: Lentera Hati hal. 173
23
Yunahar Ilyas, op.cit. hal. 241-242
24
M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah volume 2, 2005
Jakarta: Lentera Hati hal.173
25
Yunahar Ilyas, op.cit. hal. 247
26
Ibid
27
Yunahar Ilyas, op.cit. hal. 248
28
Ibid.
29
Yunahar Ilyas, op.cit. hal. 248
31
Imam Al-Ghazali, Pengembangan Pribadi Pada Akhlak. hal. 25.